Suku Baduy Dalam; jelajah suku pedalaman di Indonesia (seri-1)

kampung baduy dalam

Baduy yang masih memegang “tali paranti leluhur Sunda” terlahir dari kebijaksanaan alam dan kebaikan sang Hyang. Saat ini keteguhan nilai sunda wiwitan yang sudah melintasi batas peradaban dan zaman, dengan Kanekes nya yang tidak berubah dari asal, tidak mau mengubah tradisi leluhur kendatipun tubuh-tubuh mereka sudah sehasta bahkan sejengkal dekatnya dari peradaban yang katanya modern dengan segenap keriuhannya.

Nama kecilku Kiade, lahir disebuah dusun dimana senjata kujang dahulu kala di cipta oleh sang guru tepa. Sebelum jauh nantinya kita menjelajahi gunung Kendeng dimana kemurnian itu terjaga, aku akan membawa anda pada penjelajahan pemikiran atas sebuah suku di provinsi Banten yang namanya merujuk pada masyarakat Badui di negeri padang pasir.


Go Adventure

+62 811-1200-996

Whatsapp



Suku Baduy – Mereka menyebutnya “uing urang Kanekes”  atau sebutan yang merujuk pada nama kampung dimana mereka bermukim sejak berabad silam, seperti “urang Cibeo”yang mengacu pada nama kampung yang di tempati, yaitu kampung Cibeo. Orang Baduy sebagai identitas komunitas yang tinggal di gunung Kendeng adalah sebutan dari para pendatang yang mem-personifikasi-kan bahwa mereka layaknya seperti masyarakat Badui di negeri padang pasir.

Nama kecilku Kiade, pernah disuatu ketika aku diperhadapkan kepada jurnalis dan peneliti oleh sesepuh adat masyarakat Kanekes, ketika itu sang tetua dengan ikat kepala lomar putih, diminta untuk wawancara terkait suku-nya  “Kiade lewih ngarti Kanekes” ujarnya. Dan, “akupun memilih diam!“, karena mereka yang lebih mengetahui dan memahami kebenaran atas Baduy, namun mereka tidak berkata.

Memang, akan banyak mengalami kerumitan dan kepayahan untuk dapat menjelajahi semesta pengetahuan Kanekes dalam asal-muasal, spiritual dan falsapah kebijaksanaan yang terbangun dari alam dan Hyang mereka. Ruang-ruang itu begitu rapat tertutup, tak ada celah untuk mengintip, kendatipuan kita berada sehasta bahkan sejengkal dari tubuh kasar orang Baduy. Dan, dalam penjelajahan kali aku memperlihatkan sebagian cakrawala literasi yang tidak akan ditemukan ketika kau dan aku menjelajahi sudut-sudut gunung Kendeng disuatu waktu.

Aku memang tidak begitu menyukai dengan penyebutan “suku Baduy” atau “orang Baduy” yang merujuk pada komunitas yang telah berabad silam bermukim di gunung Kendeng Banten, namun dalam tulisan“Jelajah suku pedalaman di Indonesia”((Beberapa potongan narasi dalam artikel ini telah diterbitkan pada situs wisata halimun))kali ini, aku menggunakan kata Baduy dibandingkan dengan kata kanekes karena kepopulerannya jika , hal ini tak lain agar Google AI dapat menempatkan artikel ini pada peringkat teratas pencarian “Baduy”.

Baca Juga :
Kampung Adat Ciptagelar; jelajah kasepuhan Banten kidul Pegunungan Halimun

Oerang Kanekes atau suku Baduy ?

kanekes orang baduy dalam
Penampilan keseharian oerang Baduy luar

Suku Baduy – Baduy menyebut dirinya sebagai oerang((oerang dalam ejaan lama bisa berarti urang yang menyatakan diri dalam padanan bahasa sunda dan atau dibaca orang yang merujuk pada nama ganti ketiga)) Kanekes, urang kanekes atau orang Baduy adalah sebuah komunitas kecil dari suku Sunda yang besar yang memiliki populasi saat ini berkisar 12.000-13000 orang, orang suku Baduy hidup di pedalaman pegunungan Kendeng di provinsi Banten, menempati luas kawasan sekitar 50 kilometer persegi, dimana didalamnya terdapat sekitar 40 -50 kampung.

Pada sekitar abad ke 16-an, mereka menolak pengaruh budaya asing dengan tetap mempertahankan nilai-nilai adat dan budaya sunda wiwitan((Wiwitan artinya “pertama” sementara Jati merupakan pokok pohon kayu yang kuat. Dalam sebuah peribahasa Sunda dikatakan “Jati Kasilih Ku Junti” (Jati terganti oleh Junti), artinya pribumi tergantikan pendatang atau budaya pribumi tergantikan budaya pendatang. Masyarakat Sunda Wiwitan atau masyarakat Jati Sunda berusaha mengkonservasi gaya hidupnya berdasarkan pedoman hidup dan local wisdom yang merupakan warisan dari leluhurnya. Sebagaimana pada umumnya masyarakat Sunda lainnya yang telah konvert terhadap Islam, maka sebagian dari kelompok Sunda Wiwitan tidak melakukannya meskipun tidak melakukan upaya penolakan secara kasar. Mereka bahkan mampu melakukan hubungan kemanusiaan yang tetap baik karena masih terikat dengan garis-garis kekerabatan.

Meskipun pola kebudayaan yang dikembangkan masyarakat adat Sunda di Kanekes bersifat tahap perkembangan tua, namun demikian tidak berarti bahwa usia peradaban dan artefak yang dibangunnya juga tua dengan asumsi melampaui masa Sejarah Abad ke-4 Masehi misalnya. Ketika Hindu berkembang, bahkan ketika Islam berkembang. Dasar-dasar kebudayaan lama tidak serta merta ditindas dan dihilangkan. Melainkan menjadi dasar-dasar yang memperkuat daya adaptasi dan modalitas dasar untuk mampu menerima kebudayaan baru yang lebih tinggi. Sementara yang tidak melakukan asimilasi tetap melakukan kontak-kontak sosial secara baik. Ketika pendeta Hindu dan tempat-tempat peribadatannya hadir bersama kebudayaan kerajaan dan bangsawannya, para tetua masyarakat adat dan tempat-tempat kabuyutannya tetap dihargai sebagai orang tua dan para bares kolot yang berhak memberikan nasihat-nasihat dan pendapat-pendapat dalam kerajaan.

Dengan demikian, memupus spekulasi dan dugaan yang beredar dimana masyarakat adat Sunda Wiwitan di Banten sebagai pelarian dari Pakuan Pajajaran Bogor yang bersumber pada Pleyte (1812) dan Jacob dan Meijer (1891) yang menghubungkannya dengan wilayah keadipatian Pajajaran di Banten (Pucuk Umum Wahanten Girang), atau teori campuran keduanya yang dilakukan oleh Kruseman dan Pennings (1902). Selain masyarakat adat di sekitar Desa Kanekes, di sebelah selatan dari sistem pegunungan yang sama terdapat Citorek dan Cisungsang yang masih dalam administrasi Kabupaten Lebak (Banten) selain tinggalan punden berundak yang megah di Lebak Sibedug. Juga Ciptagelar dan Sirnaresmi yang telah masuk wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat). Penulis : Gelar Taufiq Kusumawardhana ; “Badui atau Baduy: Sejarah Suku Baduy”))dengan mengasingkan diri di pegunungan kendeng. Mungkin hal inilah yang mendasari penyebutan Baduy terhadap oerang Kanekes oleh masyarakat yang bukan Kanekes. Baduy atau Badui((Dalam bahasa Arab terdapat kata Badui yang merujuk pada nama sebuah suku di gurun pasir. Kata Badui ini berasal dari kata badiyah yang artinya gurun (desert). Orang yang mendiami gurun (desert dweller) disebut badw (banyak) dan badawi (tunggal). Dari sinilah (suku Badui Arab) diperkirakan penamaan suku Baduy bermula. Sementara gaya hidup yang dijalani suku Badui Arab disebut badawah (nomad), artinya berpindah-pindah. Berbeda dengan gaya hidup badawah, hadharah artinya menjalani gaya hidup yang menetap (settled). Jika badawi adalah orang gurun, maka hadhari adalah orang yang telah bermukim secara tetap (town dweller). Selain itu, terdapat kata yang seakar, yakni bidayah yang berarti permualan, asli, atau sejati.

Seorang Ilmuan Muslim pada Abad ke-14/15 M Ibnu Khaldun memiliki pandangan bahwa: “Badawi adalah permulaan dari hadhari dan sebaliknya, hadhari merupakan pencapaian akhir dari badawi” (Mukadimah). Sementara jauh sebelum itu, Sahabat Nabi Muhammad SAW dan Khalifah Umat Islam ke-2 pada Abad ke-7 M Umar Ibn Al-Khatab memberikan pernyataan perihal badawi ini. Yaitu bahwa: “Mereka adalah permulaan bangsa Arab dan hakikat dari Islam” (Shahih Bukhari). Untuk memahami pandangan Ibnu Khaldun dan mendalami pernyataan Umar Ibnu Khatab perlu dipaparkan selintas pandangan ilmiah mengenai latar belakang dan tahapan dalam pembentukan suatu tatanan masyarakat manusia berkembang, termasuk masyarakat Baduy di dalamnya. sumber : Baduy Corner )) yang merujuk pada nama sebuah suku di gurun pasir menjadi inspirasi penamaan masyarakat non Kanekes terhadap urang Kanekes, atau urang Rawayan yang menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Upaya suku Baduy atau Badui dalam mempertahankan cara hidup yang dilakukan nenek moyangnya dengan memegang teguh dua prinsip utama yaitu :

  • Meyakini kepercayaan terhadap Tuhan yang tunggal yaitu batara tunggal yang menurutnya tinggal di pegunungan kendeng. Pegunungan Kendeng dipercaya sebagai tanah yang suci dan dilarang untuk dimasuki manusia.
  • Melindungi hubungan antara manusia dengan alam.

Seperti yang di jelaskan oleh Iskandar (2007 : 115) prinsip hukum adat Baduy adalah : “bukit tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh di rusak, apa yang lama tidak boleh dipercepat, apa yang pendek seharusnya tidak boleh diperpanjang” dengan prinsip-prinsip tersebut, masyarakat baduy dilarang kembali mengolah tanah yang pernah digunakan sebagai lahan pertanian, termasuk melarang budidaya padi dipersawahan (menggunakan area tanah hanya untuk berladang dan berhuma bukan bersawah), tidak boleh membajak, menggali sumur, mengunakan pestisida dan lain sebagainya. keluarga baduy tidak mengunakan bahan-bahan anorganik dalam kehidupan rumah tangganya. Agar tidak merusak struktur tanah, rumah tempat mereka tinggal dibangun dengan sistem panggung dimana tatapakan dari batu menopang rumah masyarakat Baduy.

Ada sejumlah larangan yang sangat tabu seperti larangan menggunakan sandal ataupun sepatu, memelihara hewan, membawa barang atau apapun dengan alat angkutan, menggunakan listrik dan banyak lagi. semua ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan dengan hutan dan sungai serta menghindari kerusakan alam.

Semenjak dahulu hubungan orang-orang baduy dengan non-Baduy sangat terbatas dan dibatasi. identitas Baduy dalam dalam kesehariannya mengenakan kemeja putih dan penutup kepala putih sebagai perlambang kemurnian. sementara untuk perempuannya menggunakan rok berwarna abu-abu. Lain halnya dengan Baduy luar, mereka berpakian hitam dan batik biru, menempati 40 desa-desa penyangga guna melindungi kesucian Baduy dalam dari pengaruh dunia luar.

Kepribadian oerang kanekes atau suku baduy sungguh sangat menarik, kulit tubuh dan panggung mereka berwarna kekuningan, terlihat lurus, tidak pernah tertawa atau bercanda, terlihat arogan namun rendah hati, jujur, memiliki prinsip yang kuat tapi tidak keras kepala, tidak mudah untuk dipengaruhi atau dibujuk, tetapi tidak pernah memberi masalah untuk yang lainnya.

Sejarah suku Baduy

suku baduy bersama pedatang
Oerang Baduy berphoto dengan para pendatang

Suku Baduy – Penyebutan kata Baduy yang merujuk pada urang Kanekes dalam sebuah versi merupakan penyebutan dari para peneliti Belanda yang mempersamakan gaya hidup nomaden komunitas warga kanekes seperti masyarakat arab baduwi yang hidupnya berpindah pindah((lihat 4)), versi lainnya dikarenakan urang Kanekes hidupnya berada dalam wilayah  dimana mereka tinggal terdapat gunung Baduy dan sungai Baduy. Namun pada kalangan komunitas yang menetap di gunung Kendeng, mereka lebih menyukai dengan sebutan orang kanekes atau urang kanekes dalam bahasa sunda, pun sebahagian menyebutnya “urang Cibeo” yang mengacu pada nama kampung yang di tempati, yaitu kampung Cibeo.

Bila merujuk pada naskah kuno Koropak 630 Sanghyang Siksakandang Karesian, orang Baduy berasal pada para pendeta (wiku) yang mengamalkan Jatisunda((lihat 3)). Sisa dari kabuyutan Jatisunda adalah Sasaka Domas yang berada di wilayah Baduy dalam dan menjadi pusat “dunia”-nya orang Baduy, pun masih ada pendapat lainnya yang mengatakan bahwa orang Baduy diperkirakan berasal dari keturunan Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri ke Gunung Kendeng akibat diserang oleh kerajaan Islam dari Banten dan Cirebon (sumber : uun-halimah).

“Dikisahkan bahwa Prabu Pucuk tidak mampu menghadapi tentara kerajaan Cirebon pada penyerangan ke istana Kerajaan pajajaran, dia dan beberapa mentri kerajaan serta pasukan nya melarikan diri ke hutan, bersembunyi di balik gunung dan jurang. Berbulan-bulan bahkan menahun mereka menghindar dari tentara penyerang. Akhirnya Prabu Pucuk beserta rombongan yang sedang melarikan diri pun tiba di sebuah hutan perawan yang padat vegetasinya yang disebut Mandala Singkah, disitulah mereka berhenti dan tempat pertama mereka berhenti disebut Panembahan Arca Domas, terletak di hulu sungai Ciujung.” Kisah yang berkembang ini menceritakan tentang asal leluhur urang kanekes.

Penampilan urang Baduy secara fisik maupun bahasa menyamai dengan masyarakat sunda pada umumnya, dengan sedikit perbedaan yaitu pada kepercayaan dan cara hidup. Orang Baduy menutup diri rapat-rapat dari pengaruh luar serta menjungjung tinggi budaya leluhur yang di wariskan dari karuhunnya yaitu Prabu Pucuk dari kerajaan Pajajaran.

Kampung oerang Baduy

kampung suku baduy dalam
Disalah satu sudut kampung baduy luar

Terdapat tiga kelompok besar dalam masyarakat Baduy yang disebut dengan tangtu tilu,Mereka disebut sebagai Baduy dalam, Kelompok Panamping dan dangka. Paling ketat yang memegang aturan leluhur adalah Baduy Dalam, berjumlah sekitar 1.150 orang bahkan lebih dan tinggal di tiga kampung di Desa Kanekes, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Komunitas Baduy dalam sangat memegang teguh prinsip nenek moyang dan hidup dengan cara-cara tradisional, Baduy dalam dianggap sebagai pelindung keseimbangan alam dengan merawat hutan, sungai, dan gunung-gunung sehingga manusia dapat hidup secara harmonis dengan Bumi.

Kelompok Panamping adalah mereka yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kadukolot, Cisagu, dan lain sebagainya yang masih termasuk wilayah Desa Kanekes. Sedangkan dangka adalah orang-orang Baduy yang tinggal di dua kampung di luar wilayah Kanekes, yaitu Kampung Padawaras (Cibengkung) dan Kampung Sirahdayeuh (Cihandam) (Permana, 2001) atau dengan kata lain dangka adalah areal yang secara administratif berada di luar wilayah Desa Kanekes yang pada umumnya penduduknya masih memiliki keterikatan kekerabatan dan ksomik dengan warga serta tata aturan dan sistem yang berlaku di tatar Kanekes (Pasal 1 ayat 9 Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007). orang Kanekes adalah sebuah komunitas adat dengan seperangkat aturan dan norma yang telah dijalankan secara turun-temurun.

Kanekes adalah sebuah komunitas adat dengan seperangkat aturan dan norma yang telah dijalankan secara turun-temurun. Mereka membagi diri atas tiga kelompok, yaitu Tangtu Tilu, Panamping, dan Dangka

-Moeis, 2010-

Baduy dalam ; yang masih memegang adat leluhur Sunda

Suku Baduy – Baduy Dalam, merekalah yang masih memegang aura magis adat Leluhur Sunda. Suasana hening nan tenang, gelap tanpa gemerlap modernisasi dipertahankan suku Baduy Dalam untuk menciptakan sebuah lukisan kehidupan yang damai dan tentram. Pakem adat yang dijunjung tinggi oleh suku Baduy Dalam, nilai etnik yang eksotik lagi bernyawa dan kearifan lokal yang kental masih berdenyut kencang di jiwa Urang Kanekes.

Baduy luar Cicakal; kampung pelestari kerajinan

Suku Baduy – Lembur Baduy Luar yang dibagi menjadi Cicakal Muara dan Cicakal Leuwi Bulud ini merupakan tempat tinggal pelestari kerajinan alat musik tradisional sunda. Penghasil kriya etnik Baduy asli yang lain seperti karinding, kecapi, rendo, celempung, suling dan alat musik tradisional Sunda lainnya. buah karya tangan terampil ini dijual di Babakan Jaro. Urang Kanekes di Cicakal memahat simphoni di atas kayu dan bambu.

Baduy luar kadu ketug; kampung tua nan eksotik

Suku Baduy – Jalan setapak berbatu, rumah panggung beratap daun Kirai serta berdinding bilik bambu tanpa hiasan warna dan lorong atau jalan kecil dari sekatan antara rumah satu dengan rumah lain tampak seragam di lembur Kadu Ketug. Ada kesan tua nan eksotik di lembur Baduy Luar ketiga dari Ciboleger ini. Komplek Leuit atau lumbung padi di ujung lembur menandakan masih hadir peradaban Sunda kuno di tanah Kanekes.

Baduy luar kampung Gajeboh ; Sentralnya wisata Baduy

Suku Baduy – Jalan setapak berbatu, rumah panggung beratap daun Kirai serta berdinding bilik bambu tanpa hiasan warna dan lorong atau jalan kecil dari sekatan antara rumah satu dengan rumah lain tampak seragam di lembur Kadu Ketug. Ada kesan tua nan eksotik di lembur Baduy Luar ketiga dari Ciboleger ini. Komplek Leuit atau lumbung padi di ujung lembur menandakan masih hadir peradaban Sunda kuno di tanah Kanekes.

Ambu yang bertenun di baduy luar kampung Cipondok

Suku Baduy – Posisinya yang di tengah dan berdekatan dengan lembur Babakan Jaro dan Kedu Ketug serta menjadi jalur perlintasan orang Baduy Luar. Aktifitas Urang Kanekes di lembur Cipondok ini terasa kental. Kelakar bocah Baduy Luar sekali – kali bersautan dengan suara alat tenun ambu-nya. Sinar matahari merambat di atas anyaman bilik bambu, perlahan naik dan menyorot geliat kearifan lokal yang elok di Cipondok.

Babakan Jaro; lembur terdepan di baduy luar

Suku Baduy – Sampurasun. Selamat datang di Baduy. Jalan setapak berbatu, komplek rumah panggung suku Baduy, segala hasil bumi dan kriya etnik asli suku Baduy akan langsung menculik perhatian wisatawan ketika melihat lembur Babakan Jaro. Menjadi pusat berniaga dan pusat pemerintahan, lembur Baduy Luar paling depan yang berbatasan langsung dengan Ciboleger ini pun dijadikan sentral wisata etnik Baduy Kanekes.

Marengo ; Baduy luar yang berhias batu berlumut

Suku Baduy – Jembatan bambu yang melintang di atas Sungai Cidandang menghiasi muka depan lembur Marengo. Sungai Cihujung yang lebar terlihat jelas mengalir lembut di pinggiran lembur Baduy Luar kelima dari Ciboleger ini. Ratusan tahun lamanya pohon Durian dengan batang besar lagi tinggi menjulang telah banyak tersebar di tanah Marengo. Batu pondasi yang berlumut turut menegaskan tuanya keberadaan lembur Marengo.

Cipaler ; Laksana taman bambu di Baduy luar

Suku Baduy – Lembur Cipaler laksana taman bambu raksasa. Awi Gede yang berumur tua dan menjuntai tinggi mengitari pemukiman Baduy Luar ini. Tumbuhan Kirai yang daunnya biasa digunakan untuk pelindung atap rumah, tumbuh sebagai penghias aura magis nan eksotik. Lansekap komplek rumah panggung yang berada di tengah hutan tua ini menjadi salah satu lukisan hasil kebudayaan peradaban kuno yang dimiliki Urang Kanekes.

Bungur; Lembur pembatas di Baduy luar

Suku Baduy – Pemukiman Baduy Luar yang paling muda sekaligus menjadi lembur yang paling dekat dengan wilayah Baduy Dalam yang sarat kesakralan adat leluhur bila ditempuh dari Ciboleger ini adalah Cepak Bungur. Dihubungkan jembatan bambu melintang di atas Sungai Cihujung yang menjadi sekat antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, Cepak Bungur hadir menjadi gerbang terakhir untuk menuju peradaban Urang Kanekes yang kuat..

Mata pencaharian suku baduy

mata pencaharian suku baduy dalam
Menjala ikan bagi sebagian orang baduy adalah mata pencaharian selain berhuma

Suku Baduy – Warga Baduy dalam maupun Baduy luar memiliki mata pencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian, dengan kategori pertanian tanah kering atau perladangan (huma/kebun).  Dalam pemahaman  orang baduy, ladang ataupun huma bukanlah milik perorangan, melainkan milik bersama (komunal). Tanah sebagai alat produksi sepenuhnya merupakan hak ulayat yang penggunaannya dilakukan bersama-sama secara bergiliran dengan aturan yang telah ditetapkan adat dan dengan sistem pertanian berpindah bergantian.

Selain bertani, mata pencaharian orang baduy adalah berburu binatang hutan seperti kancil, menjangan, tupai, memanen madu hutan atau menjala ikan di sungai, memanen buah-buahan di hutan ketika musimnya datangm seperti buah durian, ranji, asam keranji, lada baduy, coklat, menyadap pohon nira yang diolah menjadi gula kawung, dan membuat kerajinan anyaman seperti koja, jarong, tas pinggang, topi, tempat minum dari kulit pohon teureup. Untuk memasarkah hasil hutan, terutama madu, kelompok laki-laki memasarkannya ke kota-kota terdekat dengan berjalan kaki beriringan dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 hingga 5 orang. Sementara itu, hasil kerajinan yang dilakukan oleh kaum perempuan suku Baduy berupa produk tenunan seperti baju, celana, selendang, sarung, ikat kepala, dan lain sebagainya, digunakan untuk sendiri ataupun di jual pada pendatang yang sedang berkunjung. 

Seba sebagai perjalanan politik tradisional dan spiritual suku baduy

seba baduy
Perjalanan politik dan spiritual komunitas Kanekes pada Seba baduy tahun 2017

Suku Baduy – Seba merupakan ritual puncak dari keseluruhan ritual suku baduy yang menghuni pegunungan Kendeng desa Kanekes Banten dalam melaksanakan amanat leluhur atau pikukuh karuhun, di priangan dikenal dengan sebutan tali paranti ((berwujud aktivitas bahasa dan prilaku sebagai realisasi pemikiran dan gagasannya. Aktivitas tersebut dilengkapi dengan benda-benda yang menyertainya sebagai bagian dari budayanya. Isnendes, 2013:45)). Seba yang berarti sowan atau berkunjung secara resmi di asumsikan sebagai perjalanan politik tradisional dan perjalanan spiritual masyarakat suku Baduy.

Pikukuh karuhun diterapkan secara baku dalam kehidupan sehari-hari suku Baduy sebagai adat yang ditetapkan secara resmi dan tersusun serta tersistem. Dari sekian banyak pikukuh karuhun yang berkategori “wajib” dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Sunda suku Baduy adalah kawalu, ngalaksa, dan séba. Seba Baduy merupakan urutan puncak dalam perayaan adat yang di tandai dengan “ngalalampah” orang Baduy dengan berjalan kaki dari kanekes menuju kota Kabupaten dan Ibu kota Propinsi Banten saat ini. Tokoh yang dituju dalam seba Baduy adalah Bapak Gede atau pemimpin pemerintahan di wewengkon Banten.

Seba adalah menyerahkan tanda penghormatan dan penghargaan berupa barang-barang hasil ritual suci kawalu, yaitu laksa dan hasil bumi, juga tuturan rajah (mantra) dan pidato tradisional dari masyarakat suku Baduy sebagai “nu tapa di mandala” (yang bertapa di tanah suci) pada mereka “nu tapa di nagara” (yang bertapa di negara), berharap agar haknya terpenuhi atas perlindungan tanah ulayat dan kesejahteraan masyarakat suku Baduy.

Penganan penting yang dipersembahkan dari upacara suci kawalu dan ngalaksa, yaitu laksa dipersembahkan kepada pemerintahan yang dianggapnya lebih tinggi secara lembaga pada kegiatan suci seba. (seba merupakan puncak perayaan sebagai pelaksanaan persembahan suci laksa dan hasil bumi lainnya. pendapat Garna -1993:145), dan Seba difungsikan oleh mayarakat suku Baduy dalam mengakomodir kepentingannya sebagai warga negara yang harus dilindungi haknya, terutama dalam kaitannya dengan tema dan misi yang dibawa dan disampaikan ketika seba seperti perlindungan terhadap tanah ulayat suku Baduy. Lainnya, Nilai seba berkaitan dengan urgensi dan esensinya antara lain sebagai berikut.

  • Seba merupakan sarana penyampaian misi dan visi, harapan, keluhan, dan keinginan masyarakat suku Baduy
  • sehingga dengan pengertiannya Pemerintah memenuhi hal-hal tersebut (Kurnia & Sihabudin, 2010:267-268).
  • Seba merupakan upacara keagamaan yang wajid dilaksanakan oleh seluruh masyarakat suku Baduy
  • Seba merupakan adat yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun.
  • Seba merupakan silaturahmi masyarakat suku baduy dengan para Ratu dan Menak (para pemimpin daerah). dan
  • Seba merupakan pelaksanaan amanat-amanat leluhur pada pemerintah agar saling mengingatkan dan mendoakan sehingga negara tetap aman terhindar dari bencana dan kerusakan alam.

Akan tetapi dari sudut pandang sejarah kesultanan Banten, Kontak mula suku Baduy dengan dunia luar adalah ketika tercatat adanya “kontak politik” dengan para Sultan Banten abad ke-16 setelah Pajajaran runtuh. Para pemimpin suku Baduy yang disebut pu’un bersepakat dengan Sultan Banten tentang batas-batas wilayah Desa Kanekes dan penempatan orang Islam di Kampung Cicakal girang. Hal inilah yang diyakini sebagai tanda bahwa masyarakat suku Baduy tunduk pada pemerintahan Kesultanan, karena ini orang Baduy mempersembahkan upeti berupa hasil bumi dan melaksanakan seba setiap tahunnya (Garna, 1993:146).

Seba terus dijalankan walaupun penguasa berubah, setelah pada kesultanan Banten seba dilakukan kepada penguasa Belanda, pun ketika jaman revolusi fisik RI atau ketika masa perang kemerdekaan seba Baduy tetap dilaksanakan kepada mereka “nu tapa di nagara“. seperti yang dituturkan oleh oleh Jaro Warega (Jaro Tanggungan Dua Belas) “Bisi engke dina hiji waktu atawa jaman, seba euweuh nu narima, poma kudu tetep dilaksanakeun sanajan ngan tutunggul jeung dahan sapapan nu nyaksian” artinya : Jika suatu waktu atau pada suatu jaman, seba tidak ada yang mau menerima, tetaplah harus dilaksanakan walaupun hanya tunggul pohon atau sebatang kayu yang menjadi saksinya (Kunia & Sihabudin, 2010:226).

Benda-benda yang di bawa seba Baduy

Suku Baduy – Benda-benda yang dibawa ketika seba adalah hasil bumi, terutama laksa yang terbuat dari intisari padi dan diolah melalui upacara sakral ngalaksa. Laksa Baduy ini dibungkus dengan upih “pelepah pinang”. Dengan menyantap laksa dari tanah suci, diharapkan kesaktian atau kewibawaan raja / pemimpin akan bertambah. Persembahan laksa dan hasil bumi lainnya merupakan lambang hubungan baik antara mandala dan nagara (Ekadjati, 1995:77).

Selain itu, yang terpenting kedua adalah gula kawung atau gula aren hasil pengolahan tradisional dengan segenap tradisi yang menyertainya (mantra-mantra, pekakas, dan laku tradisinya). Hasil bumi lainnya yang dibawa pada seba adalah pisang, sayur-mayur (jaat ‘kecipir’), dan talas, serta pekakas rumah tangga, seperti nyiru “niru”, hihid “kipas anyaman bambu”, aseupan, dulang, boboko “bakul anyaman bambu”, dan lain sebagainya..

Simpulan jelajah suku baduy di provinsi Banten, Indonesia

aktivitas suku baduy dalam
Mereka menyebut dirinya oerang Kanekes, bukan Baduy

Suku BaduyNama kecilku Kiade, lahir di sebuah dusun dimana senjata kujang dahulu kala dicipta oleh sang guru tepa, aku memiliki kecintaan terhadap dunia hutan, sosial budaya serta penjelajahan pemikiran dan alam.  Banyak literasi berkembang yang mengupas tentang komunitas Baduy dengan bermacam sudut pandang yang berbeda. Artikel dengan judul “Suku Baduy Dalam; seri jelajah suku pedalaman di Indonesia” inipun berbeda, tersusun atas catatan-catatan kecil yang terkadang aku simpan dalam bentuk narasi. 


Home » Blog » Suku Baduy Dalam; jelajah suku pedalaman di Indonesia (seri-1)

This entry was tagged baduy and suku baduy, suku baduy dalam, tarian suku baduy, sejarah suku baduy, upacara adat suku baduy, orang baduy, budaya baduy, adat baduy, batik baduy, wisata baduy dalam, suku baduy, iket sunda baduy, baduy jero, open trip baduy dalam, suku badui, adat istiadat suku baduy, jelajah baduy, kehidupan suku baduy, baduy dimana, baduy banten, urang kanekes, urang cibeo, urang cikartawana, baduy banten.